Search

Hak-Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Pandangan Islam

Oleh: Ummu Fadhiilah
Anggota DPP HTI

Berbicara soal reproduksi perempuan sesungguhnya adalah berbicara soal tubuh perempuan berikut semua yang ada pada dirinya. Perempuan bukan hanya seonggok tulang yang dibungkus daging dan kulit serta dihiasi dengan organ-organ reproduksi, tetapi juga akal berikut naluri. Perempuan adalah manusia dengan seluruh eksistensinya seperti halnya laki-laki. Namun, dalam rentang waktu yang panjang, perempuan dipandang oleh banyak peradaban sebagai sosok yang hadir untuk dinikmati secara seksual, berfungsi melahirkan sekaligus juga direndahkan.

Fakta sejarah memperlihatkan bahwa perempuan dalam peradaban Yunani, Romawi, India, Cina dan Arab pra Islam tidak mengalami nasib yang mujur. Mereka menjadi obyek kekerasan dan menjadi pemuas nafsu semata. Perempuan tidak berhak untuk menentukan nasibnya sendiri termasuk dalam hak-hak reproduksi mereka. Mereka dijadikan "benda" yang memuaskan nafsu laki-laki.

Lain halnya dengan kondisi perempuan di masa peradaban Islam. Islam datang mengikis habis warisan peradaban jahiliyah yang menyengsarakan perempuan. Dengan serta merta perempuan ditempatkan pada posisi sebagaimana mestinya yang ditentukan Sang Maha Pencipta sebagai manusia mulia. Islam memposisikan perempuan sebagai ibu generasi. Dan sebagai mitra laki-laki, perempuan memiliki kontribusi besar bagi kemajuan bangsa.

Persoalan Kesehatan Reproduksi Perempuan

Kemuliaan perempuan kembali dicampakkan manakala Islam tidak lagi diterapkan dalam sebuah sistem dan pranata-pranata sosial khususnya yang mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan di rumah tangga maupun di masyarakat. Para perempuan kembali menjadi obyek garapan manusia-manusia tak bermoral. Mereka dijadikan obyek perdagangan (trafficking), obyek eksploitasi (model iklan, kontes kecantikan, dll), korban kekerasan, pemerkosaan, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Sehingga tidak heran banyak perempuan yang menderita HIV/AIDS karena dipaksa dan terpaksa berhubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti saat mereka diperdagangkan dalam bisnis pelacuran. Disisi lain dengan masuknya gaya hidup Barat ke negeri-negeri muslim membuat maraknya pergaulan bebas dan menimbulkan penderita HIV/AIDS. Lihat saja Kasus HIV/AIDS di Indonesia yang terus meningkat tajam. Sampai Desember 2003 secara kumulatif tercatat 4.091 kasus. Ini terdiri atas 2.720 kasus HIV dan 1.371 kasus AIDS. Dari jumlah tersebut, 479 penderita telah meninggal1

Yang lebih miris lagi bahwa penderita HIV/AIDS ini adalah kalangan remaja dan pemuda yang berumur antara 15-19 tahun dan 20-29 tahun. Tingginya angka infeksi di kalangan remaja dan pemuda ini disebabkan oleh perilaku seksual remaja yang semakin berisiko. Selanjutnya bagi remaja putri yang hamil akibat free seks, yang menjadi pilihan adalah tindakan aborsi yang tidak hanya merusak kesehatan fisik maupun mental namun bisa berujung pada kematian.

Disisi lain, akibat tidak diterapkannya Islam dalam mengatur kebutuhan hidup masyarakat khususnya kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak, hidup perempuan dipertaruhkan. Tidak sedikit perempuan meninggal saat melahirkan karena faktor kurangnya layanan kesehatan. Ini terbukti dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), khususnya di Indonesia yang mencapai angka 307 per 100.000 kelahiran hidup.2 Angka ini adalah yang tertinggi di seluruh Negara ASEAN. Faktor penyebab tingginya AKI, 28% diakibatkan kasus pendarahan karena lambatnya penanganan. Belum lagi dengan angka yang tinggi pada penderita anemia yang dialami remaja puteri (57%).2

Kondisi kesehatan perempuan yang demikian memprihatinkan sesungguhnya disebabkan oleh tidak adanya jaminan kesehatan bagi masyarakat. Dalam kondisi seperti ini yang tidak sehat bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Kesehatan dalam sistem sekuler adalah barang mahal. Apalagi ditengah kondisi perekonomian saat ini, layanan kesehatan yang berkualitas tidak bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebaliknya dalam Islam layanan kesehatan berkualitas menjadi tugas negara, dikarenakan kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat disamping pendidikan dan keamanan. Dengan demikian seluruh warga terjamin mendapat akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas.

Amat disayangkan, dalam menyelesaikan masalah kesehatan perempuan khususnya kesehatan reproduksi yang memang amat memprihatinkan, kaum muslimin saat ini tidak menjadikan Islam sebagai panduan. Mereka diarahkan oleh pola fikir feminis yang sarat dengan ide-ide kebebasan (liberalisme). Akibatnya muncullah para aktivis perempuan dan juga laki-laki yang membela hak-hak perempuan dengan semangat liberal. Dengan dalih meningkatkan derajat kesehatan perempuan dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, mereka menawarkan konsep kesehatan reproduksi yang paradoksal.

Kesehatan Reproduksi: Bahaya yang Terselubung

Kesehatan reproduksi (kespro) diartikan sebagai: "suatu keadaan utuh secara fisik, mental dan sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi".2 Sehat secara fisik, mental dan sosial suatu masyarakat tentu saja dipengaruhi oleh sudut pandang kehidupan (ideologi). Pada ideologi Barat, aborsi dipandang sebagai satu upaya untuk mewujudkan kesehatan secara mental dan sosial. Mengapa demikian? Karena seorang perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD), merasakan ketidaknyamanan dalam hidupnya. Kehamilannya dianggap beban yang akan menghalangi aktivitasnya. Apalagi jika perempuan merasa bersalah dan tertekan akibat pandangan negatif masyarakat kepadanya.

Perempuan yang mengalami KTD hidupnya tidak sehat secara mental dan sosial karena tekanan psikis yang dialaminya. Oleh karena itu KTD harus dihilangkan dengan jalan aborsi yang legal dan aman. Sehingga tidak heran apabila legalisasi aborsi menjadi satu bahasan penting dalam isu kespro. Mereka cenderung mengabaikan faktor penyebab timbulnya KTD, yang sebagian besar disebabkan oleh seks bebas. Yang jelas dihadapan mereka telah terjadi KTD yang mengganggu kesehatan mental dan sosial seorang perempuan dan kemudian dicari cara bagaimana menyelesaikannya. Seks bebas sendiri yang menjadi penyebab KTD tidak diurusi karena seks bebas telah menjadi gaya hidup dan bagian dari kebebasan berperilaku yang mereka anut.

Definisi kespro tersebut pertama kali diluncurkan pada tahun 1994 dalam sebuah konferensi internasional yang membahas populasi penduduk dunia dan pembangunan di Kairo Mesir. Dalam rencana aksi konferensi tersebut dan juga dalam rencana aksi Konferensi Dunia tentang Perempuan IV satu tahun kemudian (Beijing, 1995), perempuan diakui memiliki empat macam hak dasar:3

1. Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual;
2. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan;
3. Hak untuk bebas memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya;
4. Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.

Keempat hak tersebut dirumuskan diatas landasan pemikiran feminis yang lahir dari ide sekuler-liberal. Dengan prinsip dasar hak asasi individu, hak untuk menentukan nasib sendiri serta integritas dan kepemilikan tubuhnya sendiri, perempuan bebas mengambil keputusan untuk melakukan apapun yang terkait dengan reproduksi seksualnya. Dengan begitu ketika perempuan memilih untuk melakukan hubungan seksual dengan siapapun tanpa ikatan perkawinan, dianggap sah-sah saja karena ia sendiri yang menentukan pilihannya. Hubungan ini diakui karena dilakukan tidak atas dasar paksaan, diskriminasi dan kekerasan, asalkan mereka bertanggungjawab atas pilihannya. Agar hubungan ilegal ini aman (bebas dari infeksi HIV/AIDS), pelaku seks bebas (umumnya remaja) diberi akses besar terhadap alat kontrasepsi. Pemberian akses ini pada hakikatnya memberi ruang yang lebih luas bagi perilaku seks bebas.

Jika seks bebas telah menjadi pilihan, manusia tidak lagi memilih ikatan perkawinan sebagai sarana menyalurkan keinginan seksual. Ikatan perkawinan dianggap beban karena laki-laki dan perempuan punya tanggungjawab besar terhadap anak. Dalam seks bebas tidak ada konsekuensi perempuan untuk hamil, melahirkan, menyusui dan mendidik anaknya. Kalaupun hamil, agar sehat secara mental ia boleh melakukan aborsi. Disisi lain dalam suasana kehidupan kapitalis, perempuan didorong untuk meraih materi dengan bekerja. Rumah tangga dan seluk beluknya dianggap menjadi rintangan untuk meraih sukses dalam karier. Akibatnya perempuan memilih tidak menikah dan untuk menyalurkan keinginan seksualnya ia melakukan hubungan seks tanpa ikatan perkawinan.

Begitupun laki-laki, dengan seks bebas ia tidak terikat untuk membiayai kehidupan istri dan anaknya. Ia bisa beralih pada perempuan manapun saat ia bosan dengan satu perempuan. Kondisi ini sudah terjadi pada masyarakat Barat yang menganut ideologi sekuler-liberal. Dan saat ini mereka terancam kepunahan generasi, akibat masyarakatnya enggan untuk menikah, hamil dan berketurunan. Inilah dampak dari adanya seks bebas, institusi keluarga terancam hancur, generasi akan punah dan yang tersisa adalah generasi pesakitan yang sedang menanti datangnya ajal. Di beberapa negera Eropa seperti Perancis, Jerman dan swiss, pemerintah mereka memberi penghargaan kepada pasangan yang menikah dan melahirkan anak. Karena jumlah pertumbuhan penduduk mereka mengalami penurunan yang signifikan.

Dari uraian diatas tampak jelas bahwa konsep kespro dimaksudkan untuk melegalkan seks bebas yang akan menghancurkan institusi keluarga dan mengancam lestarinya generasi manusia. Kondisi seperti inilah yang mereka (Barat) hendak berlakukan terhadap negeri-negeri kaum muslim melalui konsep kespro, yang digagas pada pertemuan kependudukan dan pembangunan tingkat dunia di kairo. Sangat jelas, even ini penuh dengan konspirasi menghancurkan negeri-negeri muslim yang terihat dari perubahan paradigma pendekatan demografi yang berkedok menyelesaikan persoalan ledakan penduduk (baca: KB) kepada pendekatan kesehatan reproduksi (baca: seks bebas) yang dikemas dengan slogan kesehatan perempuan. Alih-alih meningkatkan derajat kesehatan perempuan, yang terjadi adalah semakin banyaknya masalah kesehatan yang menimpa masyarakat. Penyebaran virus HIV/AIDS meningkat karena seks bebas. Seks bebas erat kaitannya dengan minuman keras dan narkoba. Akibatnya pecandu narkoba bertambah dan jumlah penderita stress pun meningkat.

Kespro Menyerang Nilai-Nilai Islam

Konsep kespro nyata-nyata dilandaskan pada pandangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (keadilan dan kesetaraan gender). Pandangan ini mengajarkan tentang otonomi perempuan, penentuan nasib dirinya, integritas dan kepemilikan tubuhnya yang menjadi prinsip -prinsip pokok kesehatan serta hak-hak reproduksi dan seksual perempuan.

Dalam konteks ini, hak-hak reproduksi perempuan meliputi hak untuk: 1). Menentukan perkawinannya sendiri. 2). Hak penikmatan seksual. 3). Hak menentukan kehamilan. 4). Hak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. 5). Hak menentukan kelahiran. 6). Hak terkait khitan perempuan. Penjelasan tentang hak-hak tersebut telah menyeret pada masalah pandangan agama (Islam) terhadap hak-hak tersebut. Agama Islam dipandang sebagai faktor penghalang dalam merealisasikan hak-hak perempuan.

Sebagai contoh, hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa perempuan yang menolak hasrat seksual suaminya dikutuk malaikat sampai pagi (Bukhari, ash-shahih, V/1992), tidak memperhatikan kontekstual dan diinterpretasikan secara bias. Mengapa? Karena kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suaminya tanpa bisa menolak, sungguh dapat menyulitkan perempuan untuk mengendalikan hak-hak reproduksinya. Bukan saja karena ia tidak dapat menikmati kenikmatan seksual, tetapi boleh jadi merupakan tekanan berat secara psikologis. Lebih jauh ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki dapat menimbulkan akibat-akibat buruk bagi kesehatan reproduksinya.4

Hadits diatas dianggap tidak menghormati hak reproduksi seksual perempuan dan sangat tidak memperhatikan aspek kesetaraan gender. Wacana keagamaan ini semakin mengukuhkan pandangan bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan tidak berdaya. Dia tidak punya kemampuan untuk menolak atau sekedar hanya mengatakan kata "tidak". Dengan alasan tersebut, sangatlah mungkin hadits tadi diinterpretasikan bahwa hanya berlaku terhadap perempuan (istri) yang berada dalam keadaan aman dan tidak dalam tekanan -tekanan psikologis.

Tentu saja interpretasi tersebut tidak benar. Hadits tersebut tidak semestinya difahami bahwa laki-laki akan memaksa istrinya untuk melayaninya sepanjang hari sehingga ia menjadi tertekan dan menderita. Hubungan antara suami istri harus dibangun atas dasar "mu'asyarah bil ma'ruf" (perlakuan yang baik). Kehidupan suami istri adalah kehidupan dua orang sahabat dengan dasar kesadaran menjalankan hukum Allah dalam rumah tangga. Suami yang baik tidak akan meminta dan memaksa istrinya untuk melayani saat kondisi istri tidak memungkinkan. Seperti sedang sakit, lelah, dan sebagainya. Saat kondisi istri siap untuk melayani dan suami bersikap ma'ruf kepadanya, maka sudah semestinya istri tidak mencari-cari alasann untuk menolak permintaan suami. Bukankah kewajiban suami untuk memenuhi hak seksual istrinya? Sehingga hubungan suami istri tidak pandang bentuk pemaksaan dan perkosaan, namun harus dipandang sebagai penunaian hak dan kewajiban.

Contoh lain mengenai khitan perempuan. Khitan anak perempuan dianggap menjadi bagian dari persoalan reproduksi perempuan. Ia dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan, karena telah terjadi pemotongan bagian tubuh perempuan yang paling sensitif (klitoris). Secara logika sulit dimengerti apa maslahatnya, dan boleh jadi pemotongan klitoris ini justru menghilangkan kenikmatan seksual perempuan.

Lagi-lagi dengan alasan kesehatan reproduksi, syariah Islam (hadits Nabi tentang khitan) dikritisi. Hadits nabi yang menyatakan: "Potonglah ujungnya dan jangan berlebihan karena itu akan membuat wajah dia (perempuan) berseri-seri dan menyenangkan laki-laki." (Abu Daud, As-sunan, IV/368), diinterpretasikan sebagai respon Nabi atas budaya khitan yang masih berakar kuat dalam masyarakat Arab waktu itu. Beliau berusaha melakukan reduksi atas budaya ini secara persuasif dan bertahap. Karena bila budaya yang telah berakar kuat ini serta merta dihapuskan, akan menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat. Dengan begitu pernyataan Nabi tersebut juga dapat mengarah pada upaya penghapusannya terutama ketika praktek khitan perempuan menurut pertimbangan kesehatan (medis) tidak memberi manfaat apalagi menyakiti atau merusak anggota tubuh.4 Jelas ini adalah upaya menyerang dan mendiskreditkan syari'ah Islam.

Islam dan Hak Reproduksi Perempuan

Islam memuliakan perempuan dan menempatkan mereka pada posisi yang semestinya sesuai dengan kodrat penciptaannya. Perempuan adalah ibu generasi yang dipundaknya terletak tanggungjawab besar untuk melahirkan dan mendidik generasi berkualitas sebagai asset besar suatu bangsa. Menjadi seorang ibu adalah tugas utama dan pertama bagi perempuan.

Agar fungsi dan peran penting perempuan tersebut terwujud, Islam menetapkan sejumlah aturan. Aturan tersebut mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan di rumah tangga seperti pernikahan, kehamilan, kelahiran, penyusuan, jaminan nafkah, pendidikan anak dan lain-lain.

Pernikahan ditujukan untuk melahirkan keturunan dan melestarikan jenis manusia (QS. An-Nisaa:1, An-Nahl:72). Disisi lain Islam mengharamkan perzinahan dan menetapkan sanksi bagi pelakunya. (QS. An-Nuur:2), ini dimaksudkan untuk memelihara kesucian, kebersihan dan kejelasan keturunan. Bandingkan dengan sistem sekuler demokrasi yang memberi kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual, homoseks, lesbian, dan lain-lain atas nama HAM, yang semuanya bermuara pada tidakjelasnya keturunan, perselingkuhan, putusnya hubungan keluarga dan merajalelanya HIV/AIDS dan penyakit menular seks lainnya.

Dengan pernikahan, perempuan diberi hak untuk diperlakukan secara hormat. Kehidupan fisiknya terjamin dengan adanya nafkah. Dengan ini perempuan tidak harus menghidupi dirinya apalagi dengan cara-cara yang merusak kodratnya, seperti melacurkan diri yang dampaknya akan merusak organ-organ reproduksinya.

Terkait dengan kehamilan, Al-Qur'an memberikan empati yang tinggi pada seorang ibu yang sedang menjalani proses kehamilan yang menjadi hak dirinya. Firman Allah SWT:

"Dan Kami perintahkan manusia (berbuat baik) kepada ibu dan bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepadaKu lah kembalimu". (QS. Luqman, 31:14).

Ayat Al Qur'an ini sangat jelas, bahwa sebagai konsekuensi seorang ibu yang mengandung anaknya dengan begitu susah payah, maka Allah mewasiatkan kepada seluruh umat manusia untuk menghormati ibunya.

Begitu juga dalam hak menyusui bagi seorang ibu. Allah SWT berfirman:
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusunan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian." (QS. Al-Baqarah, 2:233).

Dalam ayat ini, Allah SWT memberi penegasan kepada kita, bahwa seorang ibu diberi hak menyusui anaknya selama dua tahun penuh. Kemudian, apa yang harus diterima oleh perempuan selama menyusui anaknya? Ayat itu juga menegaskan, bahwa seorang bapak (suami) wajib mencukupi gizi, sandang, pangan, dan papan sang ibu ketika proses menyusui itu berlangsung.
Menyusui anak bagi ibu adalah hak yang dimilikinya. Bukan beban yang ditimpakan kepadanya. Dengan persepsi bahwa menyusui anak adalah hak bagi ibu dan anak adalah amanah yang diberikan kepadanya, seorang ibu akan merasakan kebahagiaan saat menyusui dan mengurus anaknya. Sedangkan seorang bapak memiliki kewajiban untuk mencukupi seluruh kebutuhan istri dan anaknya selama menyusui. Bapak dituntut untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab bagi proses reproduksi perempuan. Artinya, janganlah ibu yang melahirkan dan menyusui masih dibebani untuk mencari nafkah. Hal ini membuktikan bagaimana Islam memberikan perhatian yang cukup besar dalam hal ini.

Penutup

Demikianlah, hak reproduksi bagi kaum ibu dalam Islam bukan hanya dilindungi, tetapi juga melahirkan kewajiban-kewajiban pada berbagai pihak. Yaitu kepada anak yang harus menghormati ibunya, kepada suami yang berkewajiban menafkahi dan menggaulinya dengan baik, kepada masyarakat yang harus turut serta menjaga dan melindungi kehormatan perempuan, dan juga kewajiban Negara yang harus menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki agar dapat menafkahi keluarganya. Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaaffah (Khilafah/Daulah Islamiyah) akan menjamin kebutuhan pokok warganya baik yang bersifat individu (sandang, pangan dan papan) maupun yang bersifat kolektif (pendidikan, kesehatan dan keamanan).

Daulah Islam akan menjamin kesehatan warganya, karena hal itu merupakan tugas yang diberikan Islam kepadanya. Dengan sistem kesehatan yang berbasis promotif, prefentif dan protektif serta didukung dengan penerapan sub sistem lainnya (pendidikan, perekonomian, sanksi, dll) oleh Negara, Insya Allah kesejahteraan hidup umat dalam naungan Ridho Allah SWT akan terwujud.

Catatan kaki

1. Pos Kota. 21 april 2004. Artikel: "Korban HIV/AIDS di Kalangan Remaja Terus Bertambah, Jaga Keharmonisan Keluarga". Jakarta
2. Anonim. Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta. Depkes RI dan WHO. 2003. 2,3,17-20, 63-71.
3. Islam dan Hak Perempuan dalam Kesehatan Reproduksi dan Seksual dalam Konteks Kekinian di Senegal. www.law.emory.edu/IHR/BAHASA/ms_codou_reseach.htm 15 k
4. Muhammad, Husein. Makalah: "Hak-hak reproduksi Perempuan Perspektif" Islam.www.rahima.or.id/makalah/HAKHAK%20REPRODUKSI%20PEREMPUAN.doc

0 komentar: