Search

Bila Media Sulit Diajak Bicara

Salah satu gejala yang cukup kentara dalam televisi swasta kita semasa Ramadhan tahun ini adalah, stasiun-stasiun tersebut lebih ‘berani’ dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Yang dimaksud ‘berani’ di sini tentu saja bukan terkait dengan kejujuran mengungkapkan fakta politik, misalnya. ‘Berani’ mengacu pada kesediaan banyak stasiun televisi swasta menampilkan tayangan yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek seks—sesuatu yang dulu dianggap tabu, setiap kita masuk ke bulan suci Ramadhan.
Lihatlah SCTV. Bahkan dalam tayangan sahur, mereka menayangkan klip video yang jelas-jelas memamerkan bagian tubuh artis wanita yang membangkitkan birahi. Sepanjang hari, saat umat Islam harus mengendalikan nafsu, tubuh seksi Britney Spears, Madonna, TLC, serta goyang seronok penyanyi dan penari latar dalam negeri, terpampang bebas di layar televisi yang hadir di ruang keluarga rumah tangga Indonesia. Hampir tak ada satu pun televisi swasta yang tak terlibat dalam konspirasi promosi seks ini. Yang paling dahsyat adalah Anteve yang memang memberikan waktu khusus bagi tayangan MTV (saluran televisi asal AS, yang terkenal dengan kepermisifan nilainya). Namun, harus dicatat bahkan TVRI pun tidak ketat menyeleksi program bermuatan seks.
Tentu saja di bulan lain, di luar Ramadhan, tayangan semacam itu tersedia sangat berlimpah. Namun, tahun-tahun lalu, setidaknya begitu memasuki bulan suci, seluruh stasiun televisi merasa perlu untuk lebih bersikap hormat kepada nilai yang dipercaya umat Islam. Tahun ini, para pengelola stasiun tersebut nampak seperti bersikap lebih ‘jujur’: ‘Kalau di bulan-bulan lain, kami memang hidup dengan melecehkan perempuan, kenapa pada bulan puasa ini tidak?�?
Mungkin ada sejumlah penjelasan yang bisa diberikan atas peningkatan keberanian ini. Tapi satu hal yang nampaknya terkait adalah kelonggaran sikap pemerintah. Pemerintah saat ini, meski dipimpin oleh seorang kyai, terkesan tak ingin campur tangan dengan masalah moral di tengah masyarakat. Pemerintah saat ini adalah pemerintah yang percaya bahwa masyarakat bisa mengurus diri mereka sendiri. Salah satu perwujudan adalah pembubaran Departemen Penerangan.
Terlepas dari kontroversi tentang Deppen, lembaga tersebut—sebelum dibubarkan— setidaknya bisa dijadikan tempat mengadu oleh masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan isi media massa. Dan, kerap kali, paling tidak untuk menyenangkan hati masyarakat, Deppen bereaksi dengan memperingatkan stasiun yang dikeluhkan masyarakat tersebut. Mekanisme ini dulu berlaku.
Kini, tanpa Deppen, para pengelola stasiun tersebut bisa melenggang tanpa pengawasan. Mereka sedang menikmati sebuah masa yang seolah-olah memungkinkan mereka menayangkan apapun yang mereka mau, praktis tanpa kendali lembaga berwenang.
Karena itu, kelihatannya tidak ada pilihan lain: masyarakat harus mengambil alih fungsi pemerintah. Masyarakat harus mengendalikan isi media!
Sebenarnya sudah ada bukti bahwa gerakan masyarakat bisa sangat efektif. Contoh mutakhir adalah protes warga NU terhadap grup lawak Bagito di Indosiar yang melecehkan Presiden Abdurrahman Wahid. Begitu juga, kita baru saja mendengar para pendukung Megawati memprotes harian Rakyat Merdeka yang dituduh melecehkan sang Wakil Presiden, melalui karikaturnya. Akibatnya, Bagito dipaksa untuk istirahat sementara’, sedangkan Rakyat Merdeka harus menyatakan permintaan maaf selama dua hari berturut-turut di halaman muka.
Beberapa waktu lalu, gelombang protes yang dilakukan banyak kelompok Muslim turut mendorong pihak kepolisian untuk memanggil sejumlah pimpinan redaksi media cetak yang dituduh menyebarkan pornografi. Memang, sampai sekarang, tidak terdengar lagi perkembangan perkara tersebut. Namun, paling tidak, kasus itu menunjukkan betapa tekanan masyarakat memiliki pengaruh!
Tentu saja, ada satu ciri penting yang bisa ditarik dari rangkaian pelajaran tersebut. Para pengelola media massa tersebut pada dasarnya tidak akan menyerah pada tekanan masyarakat bila mereka tak merasa akan ada ancaman serius seandainya mereka tak memenuhi tuntutan tersebut. Dalam kasus Bagito dan Rakyat Merdeka, pengelola media tunduk begitu mendapat ancaman bahwa kantor mereka akan diserbu dan dibakar massa!
Dalam kasus pornografi, sebenarnya para pengelola media menunggu apa yang akan dialami rekan mereka setelah dipanggil kepolisian. Bila sekarang berbagai media kembali mengobral seks, itu terkait dengan persepsi mereka bahwa sebenarnya aparat penegak hukum kita tak terlalu serius dengan kasus ini.
Dengan demikian, bila masyarakat ingin suaranya didengar dan berpengaruh, daya tekan mereka juga harus cukup besar, sehingga menakutkan.
Sebenarnya sebagai masyarakat beradab, kita tak menghendaki penggunaan ancaman kekerasan fisik —seperti membakar kantor— sebagai langkah menekan. Cara yang lebih Islami, namun lebih melelahkan, adalah membangun gelombang protes terus menerus yang melibatkan cukup banyak orang (atau kelompok), dan itu berlangsung secara konsisten dalam waktu lama.
Selain itu, gelombang protes itu sebaiknya menggunakan jalur yang cukup menakutkan: jalur hukum. Dalam hal ini, masyarakat sebaiknya tak hanya meminta kepolisian bertindak, namun lebih dari itu, mengorganisasikan diri untuk menuntut (atau mengancam menuntut) media bermasalah ke pengadilan. Sekaligus menjaga agar kasus-kasus tersebut benar-benar diproses di pengadilan.
Untungnya, di Indonesia ini, sebenarnya ada rangkaian peraturan perundangan yang dapat digunakan untuk memperkarakan media bermasalah. Ada banyak pasal yang tersebar dalam Undang-Undang Hukum Pidana (yang akan mengalami penyempurnaan), UU Perfilman (1992), UU Penyiaran (1997), dan Undang-Undang Pers (1999), yang mengatur isi media yang melanggar kesusilaan.
Dalam Undang-Undang Hukum Pidana ada pasal yang melarang media menyiarkan materi yang membangkitkan birahi remaja’. Pelanggarnya bisa terkena hukuman kurungan dua bulan.
Dalam Undang-Undang Pers, terdapat pasal yang melarang pers memuat iklan yang bertentangan dengan rasa kesusilan masyarakat, serta iklan minuman keras. Ancaman pidana dendanya adalah maksimal 500 juga rupiah.
Dalam Undang-Undang Perfilman, terdapat ketentuan bahwa setiap tayangan film/vidio di televisi harus melalui sensor lembaga sensor film (LSF). Selanjutnya, dalam peraturan pemerintah tentang LSF, ditetapkan bahwa materi yang mengeksploitasi seks harus dipotong. Bila stasiun televisi menyiakan film atau video yang tak melalui penyensoran LSF, mereka dapat terkena hukuman denda 50 juta rupiah atau pidana penjara.
Apa yang ingin ditunjukkan di sini adalah, mengingat tak bisa lagi mengandalkan pemerintah untuk mengontrol isi media, masyarakat harus berperan aktif. Masyarakat harus mengorganisasi diri untuk menekan media secara konsisten, dengan cukup sabar dalam waktu lama. Dan, dalam hal itu, tekanan ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu yang cukup ‘menakutkan’ bila dimanfaatkan semestinya: perangkat peraturan perundangan!
(Penulis adalah ketua MARKA
(Media Ramah Keluarga) dan pengajar di jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP UI)

0 komentar: